Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang
dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa
"Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial,
sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" [1]. Tapi, menurut
kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di
dunia yang adil" [2]. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus
dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia
yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori
keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan
dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak
jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya
َالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ
الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]: 7
وKetika membahas ayat di atas, para ahli
tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang
tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam
ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.
Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan
keadilan, tegaklah langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman
[55]: 7)
Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah
“ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”.Banyak orang yang berupaya menjawab
semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan
ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman.
Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi
yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada,
sebenarnya merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh.
Tidak diragukan lagi bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi
keseimbangan alam secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan
seputar terjadinya kezaliman.
Kajian tentang keadilan dalam pengertian
“keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat
sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam
pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat
tiap-tiap individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi.
Keadlian dalam pemgertian pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan.
Adapun keadilan dalam pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok
persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan,
“Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan
bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan
munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan
ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari
sudut pandang individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.”
KEADILAN DALAM PANDANGAN ETIKA
Para ahli etika berpendapat bahawa kebaikan (al-jud) lebih mulia dari
keadilan. Sebaliknya Imam Ali AS dengan jelas mengatakan dengan hujah-hujah
tertentu bahawa keadilan lebih tinggi dari kebaikan. Kedua, pandangan ini
muncul dari dua arah pandangan yang berbeza. Sekiranya kita memandang masalah
dari segi pandangan etika individual, maka kebaikan atau itsar itu berkedudukan
lebih tinggi dari keadilan. Dikatakan demikian, kerana seseorang yang adil itu
dipandang adil kerana telah sampai batas kesempurnaan insani seperti tidak
melanggar hak-hak orang lain, tidak merampas harta orang lain dan tidak mencari
nama di mata manusia. Orang yang berbuat baik dan itsar di samping tidak tamak
terhadap harta seseorang, juga berbuat baik kepada orang-orang lain dengan
harta dan kesusahan. Orang ini tidak mengambil hak orang lain tetapi ia
memberikan haknya kepada orang lain. Ia tidak melukai seseorang yang luka dan
sakit, ia juga tidak menjenguk orang-orang yang terluka dan sakit di medan
pertempuran, di rumah-rumah sakit, di rumah-rumah orang, dan memberikan
ubat-ubatan, membungkus lukanya dan merawatnya tanpa mengharapkan balasan. Ia
bukan sahaja tidak menumpahkan darah orang lain tetapi juga ia bersedia untuk
menumpahkan darahnya sendiri sebagai satu khidmat kepada kebaikan sosial.
Dengan demikian, dari segi sifat-sifat etika individu, kebaikan itu
lebih tinggi daripada keadilan atau mungkin sekali mempunyai persamaan.
0 komentar:
Posting Komentar