Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan
manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun,
peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu
perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan
penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi
untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai
kenikmatan dan kebahagiaan.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar
dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegagalan dan kegelapan dalam
hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat.
Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi
kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contohnya jika
seseorang telah berusaha melakukan yang terbaik namun akhirnya bernasib sial
dan menjadi miskin. Selama itu dia terus dicobai dengan segala beban hidup,
namun dengan keteguhannya dapat berbalik menjadi sukses atas kerja kerasnya.
Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak
selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi
pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.
Tujuan manusia yang paling populer adalah kenikmatan, sedangkan
penderitaan adalah sesuatu yang selalu dihindari oleh manusia. Oleh karena itu,
penderitaan harus dibedakan dengan kenikmatan, dan penderitaan itu sendiri
sifatnya ada yang lama dan ada yang sementara. Hal ini berhubungan dengan
penyebabnya. Macam-macam penderitaan menurut penyebabnya, antara lain:
penderitaan karena alasan fiasik, seperti bencana alam, penyakit dan kematian;
penderitaan karena alasan moral, seperti kekecewaan dalam hidup, matinya
seorang sahabat, kebencian orang lain, dan seterusnya.Semua ini menyangkut
kehidupan duniawi dan tidak mungkin disingkirkan dari dunia dan dari kehidupan
manusia.
Penderitaan dan kenikmatan muncul karena alasan “saya suka itu” atau
“sesuatu itu menyakitkan”. Kenikmatan dirasakan apabila yang dirasakan sudah
didapat, dan penderitaan dirasakan apabila sesuatu yang menyakitkan menimpa
dirinya. Aliran yang ingin secara mutlak menghindari penderitaan adalah
hedonisme, yaitu suatu pandangan bahwa kenikmatan itu merupakan tujuan
satu-satunya dari kegiatan manusia, dan kunci menuju hidup baik.
Kritik terhadap hedonisme ialah bahwa tidak semua tindakan manusia
hedonistis, bahkan banyak orang yang tampaknya merasa bersalah atas
kenikmatan-kenikmatan mereka. Dan hal ini menyebabkan mereka mengalami
penderitaan. Pandangan Hedonis psikologis ialah bahwa semua manusia dimotivasi
oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran penderitaan. Mengejar kenikmatan
sebenarnya tidak jelas, sebab ada kalanya orang menderita dalam rangka
latihan-latihan atau menyertai apa yang ingin dicapai atau dikejarnya. Puncak
kehidupan etika bukan pada kenikmatan, melainkan pada kebahagiaan. Kenikmatan
bukan tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan.
Penderitaan dan Noda Dosa pada Hati Manusia.
Penderitaan juga dapat timbul akibat noda
dosa pada hati manusia (Al-Ghazali, abad ke 11). Menurut Al-Ghazali dalam
kitabnya Ihyaa’ Ulumudin, orang yang suka iri hati, hasad, dengki akan
menderita hukuman lahir-batin, akan merasa tidak puas dan tidak kenal berterima
kasih. Padahal dunia tidak berkekurangan untuk orang-orang di segala zaman.
Allah SWT telah memberi ilmu dan kekayaan atau kekuasaan-Nya, karena itu
penderitaan-penderitaan lahir ataupun batin akan selalu menimpa orang-orang
yang mempunyai sifat iri hati, hasad, dengki selama hidupnya sampai akhir
kelak.
Untuk mengobati hati yang menderita ini, sebelumnya perlu diketahui
tanda- tanda hati yang sedang gelisah (hati yang sakit). Perlu diketahui bahwa
setiap anggota badan diciptakan untuk melakukan suatu pekerjaan. Apabila hati
sakit maka ia tidak dapat melakukan pekerjaan dengan sempurna ia kacau dan gelisah.
Ciri hati yang tidak dapat melakukan pekerjaan ialah apabila ia tidak dapat
berilmu, berhikmah, bermakrifat, mencintai Allah dengan menyembah-Nya, merasa
erat dan nikmat mengingat-Nya.
Sehubungan dengan pernyataan ciri-ciri yang menderita, Allah berfirman:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia selain hanya untuk menyembah
kepada-Ku”. (QS. 51: 56)
“Barangsiapa merasa mengerti sesuatu, tetapi tidak mengenal Allah,
sesungguhnya orang tersebut tidak mengerti apa-apa. Barangsiapa mempunyai
sesuatu yang dicintainya lebih daripada mencintai Allah, maka sesungguhnya
hatinya sakit. “katakanlah, hai Muhammad, apabila orang tuamu, anakmu,
saudaramu, istrimu, handai tolanmu, harta bendamu yang engkau tumpuk dalam
simpanan serta barang dagangan yang yang engkau khawatirkan ruginya dan rumah
tempat tinggal yang kamu senangi itu lebih kamu cinta daripada Allah dan
Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah, maka tunggulah sampai perintah Allah
datang”. (QS. 9: 24).
Hal lain yang menimbulkan derita terhadap seseorang adalah merasakan
suatu keinginan atau dorongan yang tidak dapat diterima atau menimbulkan
keresahan, gelisah, atau derita. Maka ia pun berusaha menjauhkan diri dari
lingkup kesadaran atau perasaannya. Akhirnya, keinginan atau dorongan itu
tertahan dalam alam bawah sadar. Namun, sering orang itu mengekspresikan
keinginan atau dorongan itu secara tidak sadar atau dengan ucapan yang keliru.
Atau, apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah
tidak akan menampakkan kedengkian mereka?
“Dan kalau Kami mengkhendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu,
sehingga kamu dapat benar-benar mengenal mereka dengan tanda-tandanya, tetapi
kamu mengenal mereka dari bicara mereka, dan Allah mengetahui
perbuatan-perbuatan kamu”. (QS. 47: 29-30).
Coba kita lihat pengalaman penderitaan yang kita alami sebagai satu
bangsa karena bencana alam di Aceh. Belakangan ini Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang bersekutu dan persaudaraannya tercabik-cabik. Bangsa Indonesia yang
satu mengelompok dalam sentimen agama dan suku yang sangat tinggi. Orang Islam
menganggap orang Kristen sebagai ancaman. Mereka saling memandang dengan penuh
curiga, yang satu menganggap yang lain sebagai kafir atau melakukan syirik.
Pengelompokan manusia Indonesia menurut agama : Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, orang kafir dan orang bertaqwa hilang dengan begitu saja. Mereka
yang berbeda-beda ini justru bergandengan tangan menanggulangi dan menghadapi
penderitaan. Ini sungguh satu mujizat. Ya, kalau dalam keadaan suka cita kita cenderung
terbelah-belah, maka dalam derita dan duka kita kembali menjadi satu.
Pengalaman tidak sendiri dalam penderitaan tidak merupakan satu yang
bersifat horizontal belaka. Yang tidak kalah penting untuk kita ketahui, juga
di dalam minggu-minggu pra paskah ini, adalah kenyataan berikut. Allah juga ada
bersama kita. Ia menjadi satu dengan kita yang menderita. Allah ternyata ikut
ambil bagian dalam penderitaan manusia. Ia yang kudus dan agung berkenan
menyatukan nasibNya dengan nasib manusia.
Fakta ini kita alami di dalam Kristus. Paulus menulis: "Yesus
Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan
taat sampai mati, bahan sampai mati di kayu salib" (Fil 2:5-9)
Penderitaan memang menyakitkan dan menimbulkan luka. Tetapi manusia
tidak pernah sendiri menghadapinya. Selalu saja ada teman dan sahabat yang ikut
berbela rasa dengan kita memikul duka cita itu. Bahkan Tuhan juga menjadi
sahabat kita. Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah, tiap hal boleh
dibawa dalam doa padaNya. Inilah penghiburan sejati bagi manusia. Ini sumber
kekuatan kita menghadapi penderitaan dengan percaya bahwa penderitaan itu
bersifat sementara saja. Habis gelap akan terbit terang. Penderitaan ternyata
membangkitkan pengharapan.
0 komentar:
Posting Komentar